A.
Model-model dalam pengelolan kelas
Kamus besar bahasa Indonesia model diartikan sebagai pola (contoh,acuan, ragam, dsb) dari
sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[1]
Sedangkan Pengelolaan
kelas adalah suatu usaha yang dengan sengaja dilakukan guna mencapai tujuan
pengajaran. Kesimpulan sederhananya adalah pengelolaan kelas merupakan kegiatan
pengaturan kelas untuk kepentingan pengajaran.[2]
Apabila antara pendekatan, prinsip,strategi, metode, prosedur dan
teknik pengelolaaan kelas sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka
terbentuklah apa yang disebut dengan model pengelolaan kelas.
Jadi, model pengelolaan kelas pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan
kelas yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh
guru. Dengan kata lain, model pengelolaan kelas merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
suatu pendekatan, prinsip,strategi, metode, prosedur dan teknik pengelolaan
kelas.
Terdapat
beberapa model dalam pengelolaan kelas yang dapat diaplikasikan dalam proses
pembelajaran, yaitu model humanistic, model democratic, model behavioristic dan
konstruktivis.[3]
1. Model Humanistic
Model
humanistik dalam pengelolaan kelas menekankan pada faktor keunikan dan rasa
dignity setiap individu pebelajar. Orientasi pendekatannya lebih condong ke
student-centered daripada teacher-centered. Pada model ini, intervensi
pembelajar sangat dikurangi, bahkan lebih menitikberatkan pada partisipasi
aktif pebelajar dalam proses pembelajaran di kelas, sistem supervise, dan
pengembangan internal individu pebelajar. Model ini dikembangkan oleh Carl
Rogers.[4]
Menurut
Rogers & Freiberg (1994), tujuan dari model humanistic dalam pengelolaan
kelas adalah berkembangnya self-descipline (discipline diri) pebelajar. Self-descipline
diartikan sebagai pengetahuan dan pemahaman mengenai diri sendiri dan
kegiatan-kegiatan yang dibituhkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri
sebagai seseorang. Tujuan inilah yang harus difasilitasi oleh pembelajar sebagi
fasilitator dan bukan manajer kelas. Sebagi fasilitator, pembelajar dituntut
dapat memberikan fasilitas yang mampu mengakomodir seluruh potensi berkembang
pebelajar, agar pebelajar dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Michael
Marland (1975) juga mendeskripsikan beberapa strategi yang dapat dikembangkan
dalam pengelolaan kelas model humanistic, yang mencakup:
a.
Mempedulikan
pebelajar (caring for children),
pembelajar harus menunjukkan sikap peduli kepada pebelajar,
b.
Membuat
aturan (setting rules),
c.
Memberikan
penghargaan (giving legtimate praise),
d.
Menggunakan
humor (using humor), dan
e. Merancang
dan membentuk lingkungan belajar (shaping
the learning environment).[5]
2.
Model Demokratik
Model
demokratis juga sangat menghargai perbedaan dan hak-hak individual pebelajar,
dan bahkan menekankan pada pentingnya kebebasan bersuara. Pada model ini, para
pebelajar diberikan hak dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam
pengambilan keputusan mengelola kelas mereka. Pendekatan pembelajaran yang
diterapkan adalah relatively student-centered.
Pada saat yang sama pula, peran pembelajar dalam pengelolaan kelas juga besar.
Terkadang para pembelajar diharapkan mampu menunjukkan alasan yang rasional
untuk menerima perilaku pebelajar. Model ini diperkenalkan oleh Kounin dan
Dreikurs. [6]
Kounin
(1970) menyatakan bahwa pembelajar yang sukses dalam mencegah perilaku yang
menyimpang dari para pebelajar adalah lebih penting daripada hanya melakukan
tindakan penanganan terhadap perilaku menyimpang pada saat perilaku tersebut
terjadi. Dalam peribahasa Indonesia dikenal dengan “Mencegah lebih baik
daripada mengobati”.
Ada
3 (tiga) cara bagi pembelajar yang dapt digunakan untuk mempertahankan dan
memelihara focus pebelajar dalam proses pembelajaran, yaitu :
a. Mengembangkan cara-cara yang dapat membuat
para pebelajar memiliki sikap tanggung jawab, seperti; pemberian tugas
individual, presentasi produk, dan uji kompetensi,
b. Menggunakan kelompok, dan
c. Memformat kelas atau materi pelajaran
yang minim dengan kebosanan.
3.
Model Behavioristik
Model
behavioristik pada pengelolaan kelas menekankan pada peran vital pembelajar dan
arahan atau instruksi dari pembelajar. Hal ini didasarkan atas keyakinan bahwa
perilaku menyimpang merupakan hasil dari kegagalan untuk mempelajari perilaku
yang diinginkan. Model ini menganjurkan adanya atau diberlakukannya
konskwensi-konsekwensi perilaku dalam usaha meminimalisasi masalah di kelas,
disamping menggunakan perilaku-perilaku tersebut untuk mengoreksi jika perilaku
menyimpang tersebut diulang atau terjadi kembali. Model ini berasal dari teori
operant conditioning Skinner, dan model assertive dari Canter.[7]
Titik
tekan model behavioristik adalah pada modifikasi perilaku yang dianggap sebagai
aspek korrektif. Dengan demikian, jika ada perilaku menyimpang, maka perlu
dilakukan koreksi dengan tujuan untuk meminimalisasi atau mengubah perilaku
tersebut. [8]
Model
behavioristik dalam pengelolaan kelas dijalankan secara kaku dan berstandar,
jika ada pebelajar melakukan kesalahan seperti; berbicara keras, atau
lari-lari, maka mereka akan segera bertindak dengan hukuman melalui pengurangan
point-point yang didapatkan sebelumnya. Dalam model ini, penggunaan reinforcement (penguatan) juga telah
diberikan, dengan tujuan untuk meminimalisir dan mengontrol perilaku menyimpang
para pebelajar.[9]
Prinsip-prinsip model
behavioristik yang diterapkan dalam praktek pembelajaran menurut Hartley &
Davies.
a. Proses belajar dapat terjadi dengan baik
bila pebelajar ikut terlibat aktif.
b. Materi pelajaran disusun dalam urutan yang
logis supaya pebelajar mudah mempelajari dan dapat memberi respon tertentu
c. Tiap-tiap respon harus diberi umpan
balik secara langsung
d. Setiap kali pebelajar memberikan respon
yang benar perlu diberi penguatan.[10]
Ciri-ciri
model behavioristik ini adalah memandang pola- pola perilaku itu dapat dibentuk
melalui proses pembiasaan dan penguatan dengan stimulus-stimulus dalam
lingkungan belajar.[11]
4.
Model Kontruktivis
Model
ini merupakan terjemahan dari konsep DePorter (2000) yaitu ‘mengorkestrasi lingkungan yang mendukung’. Sebagai pancaran
dari aliran konstruktivis, tentunya model ini lebih berpihak pada pendekatan
pembelajaran student-centered seperti
pada model humanistic dan model demokratik.[12]
Ciri
model ini beraggapan bahwa pengetahuan adalah hasil kontruksi manusia. Manusia
mengkontrukruksi pengatahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman, dan lingkunagan mereka.[13]
Senada
dengan Dick, Degeng (2000) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasiskan
konstruktivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Pengetahuan
adalah non-objektif, temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
b. Belajar
adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktivitas kolaboratif,
dan refleksi serta interpretasi.
c. Mengajar
adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta
menghargai ketidakmenentuan.
d. Mind
berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, obyek atau prespektif
yang ada dalam dunia nyata sehingga muncul makna yang unik dan individualistik.
e. Si
pembelajar bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang
dipelajari.
f. Segala sesuatu bersifat temporer,
berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas.
g. Ketidakteraturan.
h. Si pebelajar dihadapkan kepada
lingkungan belajar yang bebas.
i.
Kebebasan
merupakan unsur yang sangat esensial.
j.
Kontrol
belajar dipegang oleh si Pebelajar.
k. Tujuan pembelajaran menekankan pada
penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks
nyata.
l. Penyajian
isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan
dari keseluruhan ke bagian (deduktif).
m. Pembelajaran lebih banyak diarahkan
untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si Pebelajar.
n. Aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada data primer dan bahan manipulative dengan penekanan pada
keterampilan berfikir kritis.
o. Pembelajaran menekankan pada proses.
p. Evaluasi.[14]
Berkaitan
dengan pengelolaan kelas, pembelajar yang konstruktivistik akan mengedepankan
keragaman melalui penataan lingkungan belajar yang bebas. (Degeng, 2000).
Secara lebih rinci DePorter (2000) menjelaskan tata pengelolaan lingkungan
belajar (pengelolaan kelas). Menurutnya prinsip utama yang perlu dilakukan pembelajar
dalam mengelola lingkungan belajar adalah pandangan sekeliling, dan kaitan
mata-otak. Pengelolaan kelas yang baik adalah yang melibatkan barbagai
modalitas belajar, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.
Dengan
demikian, jelas bahwa lingkungan belajar mempengaruhi kemampuan pebelajar untuk
berfokus dan menyerap informasi. [15]
[3] Imam azhar, M.pd, Pengelolaan kelas dari teori ke praktek,Yogyakarta:Insyira,
2013,hal 93
[4] Ibid, hal 93
[6] Ibid hal, 96
[7] Ibid,hal 98
[8] Ibid,hal 99
[9] Ibid, hal 99
[10] Imam Azhar, perencanaan sistem desain pembelajaran.STRAIDRA Kranji
Paciran Lamongan,2012. Hal 5
[11] Ibid hal 9
[13] Opcit ,hal 21
[14] Ibid,hal 102
[15] Ibid,hal 105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar